Mengisi Kekosongan

Selama ini, selama dua puluh sembilan tahunku berada di dunia, aku nggak pernah sekalipun meragukan kemampuanku sendiri. Aku menyadari apa yang sanggup kulakukan dan yang nggak bisa kukerjakan. Aku paham betul akan kompetensiku sendiri, dan aku nggak akan ragu untuk belajar dan mencoba mengerti banyak hal yang memang belum kupahami. Karenanya, aku pun nggak pernah berpikir bahwa suatu ketika aku akan terkena impostor syndrome.

Hingga akhirnya aku terkena impostor syndrome di ujung usiaku yang ke-dua puluh delapan.

Pikiran-pikiran menyebalkan seperti, “Aku ngerasa jadi orang paling tolol sedunia.” atau, “Gila, emang aku sebodoh ini ya?” nggak pernah terlintas di benakku sebelumnya. Not until those few days before I turned twenty nine.

Sulit sekali untukku menceritakan apa yang kurasa saat itu. Emosi yang berkecamuk di diri terlalu kompleks hingga membuatku kesusahan merunut benang kusut yang ada dalam hati dan kepalaku. Muncul perasaan nggak berharga, nggak dianggap ada, direndahkan isi otaknya, dikerdilkan opininya, diabaikan, dan banyak perasaan lain yang belum pernah kutemui selama ini. Menangisi semua perasaan tidak menyenangkan itu seperti sudah menjadi rutinitasku sehari-hari–setidaknya sekali sehari sebelum tidur selama lima belas menit. Entah, mungkin otakku mengirimkan sinyal bahwa tangisan yang tertahan itu adalah satu-satunya caraku bertahan.

Tanpa kusadari, ragam emosi negatif itu membuatku merasa kosong. Senin sampai Jumat-ku kujalani dengan ala kadarnya, tanpa semangat hidup. Beruntung aku masih bisa mencari-cari motivasi untuk diriku sendiri, sehingga Senin sampai Jumat-ku kujalani dengan antusiasme bertemu Sabtu dan Minggu: hari di mana aku, setidaknya, bisa menjadi diriku sendiri dan melupakan perasaan negatif yang menyelimuti tiap weekdays.

Yang nggak kuketahui, kosong yang kurasakan itu ternyata berbahaya.

Selain meruntuhkan kepercayaan diriku, kosong itu juga membuka celah untukku membiarkan segala yang bertentangan dengan prinsipku masuk. Celah itu mengisi kekosonganku, karena ia menjadi satu-satunya yang memenuhi apa yang nggak kudapati: perasaan dihargai, dianggap ada, diapresiasi isi otaknya, didengarkan opininya, diiyakan kehadirannya, dan banyak perasaan lain yang sebenarnya familiar namun mendadak dilenyapkan paksa.

Andai saja ia nggak bertentangan dengan prinsipku, mungkin akan kusambut celah pengisi kekosonganku itu dengan tangan terbuka dan hati gembira. Akan kusambut dengan confetti dan balon warna-warni. Tapi sayangnya ia berlawanan dengan apa yang kuanut, dan bagiku, celah yang mengisi kekosonganku itu nggak sepadan dengan mengorbankan nilai yang selama ini kujunjung.

Lalu, aku mulai berpikir: apakah ini gejala awal dari attachment issue yang pernah kuderita?

Iya, aku dulu pernah didiagnosis mengalami attachment issue yang membuatku kesulitan melepaskan seseorang yang–menurutku pada saat itu–memegang peranan penting dalam hidupku. Waktu itu, kupikir aku nggak akan mampu menghadapi dunia kalau dia nggak ada di sisiku untuk mendukungku (walau pada kenyataannya, semua dukungan yang diberikannya adalah palsu).

Kalau boleh kutengok ke belakang, attachment issue yang kuderita enam tahun silam berawal dari kekosongan yang kurasa, yang situasinya mirip sekali seperti yang kualami beberapa waktu lalu meski dalam bentuk yang berbeda. Sialnya, celah yang kubiarkan masuk saat itu berhasil menguasai diri hingga membuatku kehilangan identitasku sendiri.

Kali ini, aku nggak ingin membiarkan celah itu mengisi kekosonganku dan memantik kembali attachment issue yang sudah lama pergi. Aku ingin tetap sadar bahwa ini semua tidak benar; bahwa satu-satunya entitas yang boleh mengisi kekosonganku hanyalah diriku sendiri. Bukan orang lain, bukan situasi lain (terlebih jika hal tersebut nggak sejalan dengan prinsip).

Ini saatnya aku menyirami diriku dengan afeksi yang sama (atau lebih) seperti yang biasa kuberikan pada orang lain. Ini saatnya aku kembali menyatukan kepingan kepercayaan diri yang hampir tiga puluh tahun kukumpulkan dan membentuk lagi identitas diriku yang utuh. Ini saatnya aku mengisi kekosonganku agar aku nggak perlu mencari celah untuk menutup kosong itu.

Tapi kenapa ya, semua ini lebih mudah dituliskan daripada dilakukan?

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.