“Dasar Feminis SJW!”

Hai. Cukup lama juga aku nggak nge-rant di sini. Tapi sebelumnya, aku mau menyapa kalian yang berpuasa, semoga dilancarkan ya ibadahnya. Yang nggak ikutan puasa, semoga dilancarkan segala urusannya.

Seperti judulnya… (pakai nada lord Suhay Salim waktu membuka video-videonya) rant-ku kali ini nggak jauh-jauh dari istilah kesayangan netijen Indonesia. Sering sekali aku melihat warganet teriak-teriak di Twitter dengan ngata-ngatain orang pakai istilah, “Hiiii dasar SJW!”, “Udah udah, feminis jangan dilawan dah…” dan ungkapan-ungkapan senada lainnya.

Aku tuh agak keki ya tiap kali baca komentar netijen yang menyalahgunakan istilah tersebut. Walaupun initial meaning-nya bermakna netral bahkan positif, tapi karena banyaknya netijen yang menggunakannya untuk memaki atau mendiskreditkan orang lain, jadilah istilah-istilah tersebut bergeser maknanya menjadi lebih degrading.

Untuk saat ini, aku nggak ingin membahas persoalan perubahan makna istilah karena sesungguhnya bukan itu topik yang akan kuperbincangkan. Memang sengaja aja judulnya dibuat clickbait-y, biar ada yang tertarik baca. (Kalaupun nggak ada… ya sudahlah ya.)

Jadi, begini…

Ada salah satu kampanye untuk menyambut bulan ramadan yang dilakukan oleh sebuah organisasi. Kampanye ini sebenarnya cukup menarik karena bahasan yang dipilih dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat dan pemilihan waktu dan tempatnya juga pas karena dieksekusi di bulan ramadan dan ditampilkan di transportasi publik. Foto-foto kampanye yang sempat kulihat tadi ada tiga buah, tapi sepertinya sudah diturunkan karena feedback netijen yang beragam sehingga yang bisa kutunjukkan hanya foto ini:

Foto kampanye tersebut mengundang banyak sekali respon warganet. Ada yang menceritakan pengalaman serupa, ada pula yang mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap copywriting dari kampanye tersebut.

Mereka yang tidak setuju menuliskan hal-hal kurang menyenangkan yang pernah terjadi ketika di-SKSD-in bapak-bapak atau penumpang lain di transportasi publik. Umumnya, warganet yang keberatan ini rata-rata perempuan, walau ada beberapa lelaki yang juga menyampaikan concern-nya ketika di-SKSD-in orang asing.

Ketika membaca kegelisahan mereka atas kampanye ini, aku bisa mengerti dan memahami (karena aku pernah mengalami hal serupa). Para perempuan dan beberapa lelaki ini bilang, bukan mereka ingin mengacuhkan bapak-bapak SKSD yang mungkin sedang merindukan anaknya, tetapi mereka bersikap antisipatif karena seringkali hal ini mengarah ke pelecehan. Ada yang tiba-tiba dirangkul lah, ada yang dimintai nomor telepon lah, bahkan ada juga stranger yang memaksa berbagi selimut di kereta. Creepy AF.

Umpan balik dari Tweeps terhadap kampanye ini rupanya sampai juga ke telinga campaigner. Organisasi tersebut akhirnya menurunkan cuitan yang berisi foto-foto kampanye dan menulis rilis seperti ini:

Menurutku, langkah yang diambil oleh campaigner ini sudah tepat dengan menyatakan permintaan maaf atas pemilihan konten kampanye yang kurang sensitif (or should I say… it’s just some bad copy?), walaupun tujuan awalnya untuk membangun empati. It’s good that they acknowledge their mistakes, and it’s even better because they listened to the audiences’ feedback. Keren sekali tim PR-nya karena mengambil langkah yang menurutku sudah sangat tepat dalam mengatasi krisis.

TAPI!
Tapi yang tidak keren adalah… reaksi netijen terhadap rilis tersebut. Kalau kalian baca kolom replies pada embedded tweet di atas, bisa disimpulkan bahwa masih banyak rakyat Indonesia yang gemar menghakimi tanpa mencoba memahami sisi lain dari cerita setiap orang. Which is ironic, because the campaign was to promote empathy by NOT judging others and try to see people’s stories from another point of view.

Yang lebih ironisnya lagi, netijen ini menggunakan istilah ~feminis~ dan ~SJW~ untuk memaki. Menyalahkan mereka yang tidak nyaman dengan pemilihan kalimat pada konten kampanye tersebut sebagai “SJW”, sebagai “feminis ngehe”, sebagai reaksi yang berlebihan, seakan-akan diksi makian tersebut ada korelasinya dengan kampanye dan umpan balik yang sedang dibahas.
Padahal mah…

Ada yang bilang, netijen yang tersinggung dengan kampanye tersebut tuh ribet. Ada yang bilang, dia oke-oke aja kalau disamperin bapak-bapak SKSD atau diajak ngobrol dengan orang asing di kereta. Ada yang bilang, reaksi beberapa perempuan dan lelaki yang nggak setuju dengan kampanye ini berlebihan banget.
Well, lemme just put this here:

EXACTLY.

Sepertinya yang memaki Tweeple karena merasa nggak nyaman dengan konten kampanye tersebut tuh (alhamdulillah-nya, puji Tuhan-nya) belum pernah mendapat pengalaman buruk dari di-SKSD-in orang asing. Tapi bilang kalau reaksi teman-teman yang nggak nyaman ini berlebihan? Hmm… cukup menjengkelkan sih ya.

Kalau kalian merasa nggak apa-apa di-SKSD-in orang asing, then good for you. Kalau kalian bisa menolak di-SKSD-in bapak-bapak creepy, good for you. Kalau kalian merasa bahwa beberapa orang yang tidak nyaman dengan konten tersebut hanyalah suudzon aja, negative thinking mulu, ribet, atau lebay… sepertinya kalian perlu ke rumah sakit terdekat deh untuk ngecek apakah hati kalian masih ada. Takutnya udah nggak ada, gitu.

Mungkin bagi kalian didekati dan diajak ngobrol orang asing tuh nggak masalah, bahkan mungkin ada yang merasa seru karena bisa mendengar cerita-cerita baru dari orang lain. Tapi bagi beberapa yang lain, bisa aja itu mengingatkan mereka pada hal-hal yang nggak menyenangkan yang pernah mereka alami di masa lalu. Traumanya dilecehkan, dicopet, digendam… siapa yang tahu.

Don’t disregard others’ feeling just because you can’t understand their fear.

Kenapa sih kita lebih suka menghakimi dan mengabaikan perasaan orang lain? Kenapa kita nggak mencoba lebih simpati, mencoba memahami bahwa nggak semua orang memiliki keberanian yang sama? Bahwa nggak semua orang merasakan hal yang sama dengan kita?
Kenapa sih kita terlalu memusatkan diri pada apa yang kita rasakan? Kenapa kita nggak mencoba menempatkan diri pada apa yang mungkin dirasakan orang lain yang tidak seberani, seberuntung, atau sekuat kita?

Instead of screaming and shouting insulting words to those who offended and triggered by the campaigns’ content, we can try to have a little bit of empathy. We can try to be kinder, to be more helpful, to be more sensitive. We can stop being so full of ourselves that we neglect others’ inconvenience.

Dan yang paling penting… setop teriak-teriak “dASaR sJw!1!!” “FeMiNiS nGeHe!!1!” karena itu sama sekali nggak membuat kalian terlihat ~edgy~ apalagi keren.


Oh! Satu lagi! Mungkin sebelum ngetik makian dengan semangat, pahami dulu deh SJW dan feminis tuh maksud dan maknanya kaya gimana 😉

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.